Menjelang kekalahannya di
akhir Perang Pasifik, tentara pendudukan Jepang berusaha menarik
dukungan rakyat Indonesia dengan membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai
atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI).
Pada tanggal 1 Juni 1945,
Bung Karno mendapat giliran untuk menyampaikan gagasannya tentang dasar
negara Indonesia Merdeka, yang dinamakannya Pancasila. Pidato yang tidak
dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu itu diterima secara
aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.
Selanjutnya BPUPKI membentuk
Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar dengan
berpedoman pada pidato Bung Karno itu. Dibentuklah Panitia Sembilan
(terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikusno
Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, HA Salim, Achmad Soebardjo dan
Muhammad Yamin) yang bertugas : Merumuskan kembali Pancasila sebagai
Dasar Negara berdasar pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1
Juni 1945, dan menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Demikianlah, lewat proses
persidangan dan lobi-lobi akhirnya Pancasila penggalian Bung Karno
tersebut berhasil dirumuskan untuk dicantumkan dalam Mukadimah
Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan dan dinyatakan sebagai dasar
negara Indonesia Merdeka pada tanggal 18 Agustus 1945.
Dalam kedudukan sebagai
pemimpin bangsa, Bung Karno tidak pernah melepaskan kesempatan untuk
tetap menyosialisasikan Pancasila. Lewat bebagai kesempatan, baik
pidato, ceramah, kursus, dan kuliah umum, selalu dijelas-jelaskannya
asal-usul dan perkembangan historis masyarakat dan bangsa Indonesia,
situasi dan kondisi yang melingkupinya, serta pemikiran-pemikiran dan
filosofi yang menjadi dasar dan latar belakang “lahirnya” Pancasila.
Juga selalu diyakin-yakinkannya tentang benarnya Pancasila itu sebagai
satu-satunya dasar yang bisa dijadikan landasan membangun Indonesia Raya
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwilayah dari
Sabang sampai Merauke, yang merdeka dan berdaulat penuh, demokratis,
adil-makmur, rukun-bersatu, aman dan damai untuk selama-lamanya.
Meskipun telah menjadi dasar
negara dan filsafat bangsa, pada sidang-sidang badan pembentuk
Undang-Undang Dasar (Konstituante) yang berlangsung antara tahun 1957
sampai dengan 1959, Pancasila mendapat ujian yang cukup berat. Tapi
berkat kuatnya dukungan sebagian besar rakyat Indonesia, lewat Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, Pancasila tetap tegak sebagai dasar negara dan
falsafah bangsa Indonesia.
Tetapi ternyata pihak
neo-kolonialis dan pihak yang anti-Pancasila tidak tinggal diam. Setelah
meletusnya G30S pada tahun 1965, tidak hanya Sukarno yang harus
“diselesaikan” dan “dipendhem jero”, bukan hanya Republik Proklamasi
yang harus diberi warna dan diperlemah, tetapi juga roh bangsai yang
bernama Pancasila itu harus secara halus dan pelan-pelan ditiadakan dari
bumi Indonesia.
Dengan melalui segala cara
dilakukanlah upaya untuk menghapuskan nama Sukarno dalam kaitannya
dengan Pancasila. Misalnya, dinyatakan tanggal 18 Agustus 1945 sebagai
hari lahir Pancasila, bukan 1 Juni 1945. Demikian juga disebutkan,
konsep utama Pancasila berasal dari Mr. Muh. Yamin, yang berpidato lebih
dahulu dari Bung Karno.
Tetapi kebenaran tidak bisa
ditutup-tutupi untuk selamanya. Ketika pemerintah Belanda menyerahkan
dokumen-dokumen asli sidang BPUPKI, terbuktilah bahwa pidato Yamin tidak
terdapat di dalamnya. Dengan demikian gugur pulalah teori bahwa Yamin
adalah konseptor Pancasila. Maka polemik mengenai Pancasila pun berakhir
dengan sendirinya.
Tapi sebagai akibat
akumulatif dari polemik Pancasila itu, akhirnya orang menjadi skeptis
terhadap Pancasila, kabur pemahaman dan pengertian-pengertiannya, dan
menjadi tidak yakin lagi akan kebenarannya. Pancasila semakin hari
semakin redup, semakin sayup, tak terdengar lagi gaung dan geloranya.
Apalagi bersamaan dengan
kampanye “menghabisi” Bung Karno itu dipropagandakan tekad untuk
melaksanakan Pancasila “secara murni dan konsekuen”. Padahal di balik
kampanye itu, sistem dan praktek-praktek yang dilaksanakan justru penuh
ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekejaman, penindasan dan
penginjak-injakan hak asasi manusia; penuh dengan korupsi, kolusi dan
nepotisme; penuh dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan
tindakan-tindakan yang anti-demokrasi dan a-nasional. Kesemuanya itu
akhirnya membawa bangsa ini serba terpuruk dan mengalami krisis di
segala bidang (krisis multidimensional) yang menyengsarakan rakyat dan
mengancam kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
sangat jauh dari cita-cita segenap bangsa Indonesia.
Yang menyedihkan, krisis itu
menimbulkan kesimpulan, bahwa yang salah selama ini adalah dasar negara
dan falsafah bangsa Pancasila, dan bukannya kesalahan pelaksana atau
dalam pelaksanaannya.
Menyadari akan semuanya itu,
maka dirasa sangat perlu untuk menyebarluaskan kembali Pancasila ajaran
Bung Karno ke segenap lapisan masyarakat dan terutama generasi muda
Indonesia, agar kita semua bisa memahaminya secara utuh, meyakini akan
kebenarannya, dan siap untuk memperjuangkan dan melaksanakannya.
Untuk itu dalam himpunan ini,
selain pidato Lahirnya Pancasila, juga disertakan ceramah, kursus atau
kuliah umum yang pernah diberikan oleh Bung Karno dalam berbagai
kesempatan. Misalnya kursus-kursus Pancasila yang berlangsung selama
beberapa bulan di Jakarta, ceramah pada seminar Pancasila di Yogyakarta,
dan pidato peringatan Pancasila di Jakarta.
Kami yakin, bahwa kehadiran
sebuah buku yang berisi pidato “Lahirnya Pancasila” beserta rangkaian
uraian yang menjelaskannya, yang berasal dari tangan pertama ini akan
sangat diperlukan oleh segenap putera tanah air yang terus berusaha
menjaga dan mengisi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
0 komentar:
Posting Komentar